Sabtu pagi, 2 Maret 2013, saya berkesempatan pergi ke sebuah makam yang terletak di Jl. Mohd. Jam Banda Aceh. Persis di belakang sebuah kedai kuliner, warung bakso Hendra Hendri. Menuju lokasi makam, kita harus melewati gang yang sama untuk masuk ke warung bakso Hendra Hendri. Setiba di sana, sebuah plat kira-kira seukuran 2x kertas A4 menempel di tembok pagar Kantor Departemen Agama Kota Banda Aceh. Plat itu terbuat dari kuningan dan tertulis keterangan dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Aceh, Inggris dan Indonesia. Dalam bahasa Aceh terbaca:
“Makam Poteu Jeumaloy”
“Di sinoe makam Sultan Jamal ul-Alam Badr ul-Munir, Sultan Aceh Darussalam keuturunan Arab nyang mat keurajeuen bak thon 1703 – 1726 M.”
Beberapa referensi
sejarah menulis namanya sebagai Sultan ke-20. Tapi ada juga yang menyebutnya
sebagai Sultan ke-21 dari semua Sultan yang pernah memegang tampuk kekuasaan
Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan
Jamalul Alam Badrul Munir merupakan nama lengkap sultan itu. Dia memerintah
sejak tahun 1704 Masehi, seperti yang tertera di makam miliknya. Makam itu
berada tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Makam
tersebut terhimpit antara rumah dan warung. Ia terletak persis di samping dapur
warung, yang pagi itu sudah beraktivitas dengan suara kompornya yang
bergemuruh. Ada sepasang nisan membujur di bawah bangunan beratap sederhana.
Dipagari dengan sejenis pagar kawat, sekitar makam seperti tidak terurus.
Sebuah parabola bersandar di dalam pagar makam. Selain ada sebuah pamplet
keterangan berisi profil singkat Sultan, di salah satu tembok tiangnya terletak
sepasang sepatu bola.
“Tempatnya
masih agak berantakan. Sebab kami sedang mengecat toko,” ujar Isa, 23 tahun
salah satu pekerja warung Hendra Hendri sambil menunjukkan perkakas-perkakas
catnya.
“Nanti
parabola itu juga akan dipindah setelah pengecatan selesai. Biasanya, makam ini
kami yang bersihkan. Tapi sekarang memang agak berantakan sebab ruang di sini
sempit sekali,” kata pemuda asal Pidie ini yang mengaku telah 2 tahun bekerja
di warung itu.
Sesuai
dengan yang tertulis di pamplet bertahun 2007, Dinas Kebudayaan Prov. Nanggroe
Aceh Darussalam tersebut, di ketahui Sultan Jamalul Alam Badrul Munir disebut
juga Sultan Jamaloy. Dia naik tahta tahun 1704 M. Tahun ini berbeda dengan yang
tertulis di plat makam Sultan Jamlul Alam Badrul Munir. Dia merupakan putera
Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin yang berasal dari keturunan Arab.
Dalam
pamplet itu disebutkan, sejak memerintah penduduk hidup makmur dan aman
sentosa. Namun kepemimpinannya tidak disenangi oleh Panglima Sagi yang ada di
Aceh sehingga terjadilah pemberontakan pada tahun 1708-1726 M. Pemberontakan
ini menyebabkan Sultan Jamaloy lari ke Pidie. Akhirnya diangkat Maharaja Lela
asal Bugis menjadi Sultan pada tahun 1727-1735 M. Sultan
Jamaloy kembali ingin merebut tahtanya setelah Maharaja Lela mangkat. Namun dia
mendapat serangan dari Pocut Ue, putera Maharaja Lela yang telah dinobatkan
sebagai pengganti ayahnya tahun 1735 M.
“Ya
beginilah kondisinya. Tempatnya sangat sempit. Dulu tidak ada rumah di sebelah
makam itu. Untuk masuk ke lokasi makam pun, dulu bukan lewat sini. Tapi lewat
lorong di samping warung Rujak Garuda,” kata seorang sumber yang tidak mau
disebutkan namanya.
Menurut
sumber yang sudah 30 tahun lebih tinggal dekat makam tersebut, Sultan Jamaloy
adalah Sultan yang mewakafkan tanah Blang Padang dan tanah sekitarnya untuk
Masjid Raya. “Saya tidak
tahu persis juga. Saya dengar cerita ini turun temurun dari keluarga. Bahkan
kakek saya bercerita, tanah sekitar makam Sultan Jamaloy dulu memang tanah
perkuburan. Tapi saya tidak tahu pasti. Itu makanya, walaupun makam ini kurang
diurus pihak dinas, kami tetap membersihkannya secara sukarela. Cuma sekarang
warung bakso Hendra Hendri sedang merehab tempatnya. Makanya terlihat
berantakan,” katanya.
Lebih lanjut,
sumber ini menyebutkan kalau ada peziarah dari Malaysia kerap berkunjung ke
makam Sultan Jamaloy. “Cuma
masalahnya, tidak ada penunjuk arah di lorong masuknya. Banyak pengunjung
berpikir makam sultan terletak pas di tembok pagar kantor Depag. Coba baca di
plat keterangan itu. Di situ tertulis, di sini Makam Sultan Jamaloy. Pengunjung
pikir makamnya di tembok itu. Mestinya ada penunjuk arah, kalau makam Sultan
terletak 30 atau 50 meter ke dalam. Pemerintah sebenarnya mengerti tentang ini.
Tapi ya beginilah,” ujar sumber tersebut antusias sambil tetap mengharapkan
nama dan alamatnya tidak disebutkan dalam berita.
sebelumnya telah dimuat di atjehpost.comhttp://atjehpost.com/
0 komentar:
Posting Komentar