Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana?
X meminjam uang kepada Y sebesar Rp. 200.000.000 dan mereka membuat sebuah perjanjian. Di dalam perjanjian tersebut ada pasal yang berisikan bahwa jika X tidak bisa membayar utang, maka X akan dipenjarakan dalam arti dilaporkan ke pihak berwajib yaitu kepolisian. Pertanyaan: 1. apakah X bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib? Jika bisa, diduga melakukan tindak pidana apa? 2. Jika dalam penagihan Y bermaksud menakut-nakuti dengan cara membawa oknum penegak hukum agar X membayar utang, apakah Y dan oknum penegak hukum tersebut bisa dilaporkan?
Jawaban :
Intisari:
Mengenai
apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib
(kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada
ketentuan yang melarang hal tersebut. Membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Ini
berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh
memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang.
Di
sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian,
kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak
sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum
perdata.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjanjian Utang Piutang
Pertama-tama perlu saya jelaskan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Mengenai
apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib
(kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada
ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:
Tidak
seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban
dalam perjanjian utang piutang.
Ini
berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh
memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang.
Dalam
praktiknya, saya acapkali mendengar dan mendapati permasalahan
utang-piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah justru
malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP
tentang Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan
tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian yang
merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana,
harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?
Akan tetapi, saya menemukan pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989:
“bahwa
sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang
diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau
dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan "penipuan"
harus dianggap terbukti.”
Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai
salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi
seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan
membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).
Oleh
karena itu, menurut hemat saya hal, membuat laporan atau pengaduan ke
polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat
naik ke proses peradilan.
Di
sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian,
kejaksaan, hakim dan advokat sangat diharapkan untuk tidak merusak
sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum
perdata.
Perbuatan Menakut-nakuti Debitur yang Tidak Membayar Utang
Menjawab
pertanyaan Anda yang kedua, perbuatan Y yang membawa polisi dalam
melakukan penagihan utang X, perlu diketahui terlebih dahulu apakah
maksudnya adalah “menjadikan polisi sebagai penagih utang”?
Perlu
diketahui, dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian harus tunduk pada
aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan politik praktis;
c. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d. bekerjasama
dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e. bertindak
selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan
pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik
Indonesia demi kepentingan pribadi;
f. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i. menjadi perantara/makelar perkara;
j. menelantarkan keluarga.
Terhadap
masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut
dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi
Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI. Lebih lanjut, Anda dapat
membaca artikel Maddenleo T. Siagian, S.H. yang berjudul Bolehkah Memakai Jasa Polisi untuk Penagihan Utang?
Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Referensi:
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Putusan:
Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989
sumber: http://www.hukumonline.com/
0 komentar:
Posting Komentar