Senin, 05 Oktober 2020

MENGENAL DAN MEMAHAMI YAYASAN

 

Langkah-langkah Praktis Pembuatan Yayasan:

  1. Siapkan nama Yayasan (siapkan pula alternatif nama untuk mengantisipasi nama yayasan yang akan digunakan telah dipakai);
  2. Siapkan nama-nama (KTP & NPWP Pribadi) yang akan duduk sebagai Organ Yayasan (Pembina, Pengurus: Ketua, Sekretaris, dan Bendahara, dan Pengawas);
  3. Tentukan dimana domisili yayasan;
  4. Tetapkan modal dasar/kekayaan yayasan minimal Rp.10.000.000,- utk Yayasan yang didirikan oleh WNI atau minimal Rp.100.000.000,- untuk yayasan yang didirikan oleh WNA atau WNI bersama WNA); dan
  5. Menyerahkan Bukti setor modal yayasan.

 

PENDAHULUAN

Sejarah Yayasan di Indonesia

Kebutuhan masyarakat yang menginginkan adanya suatu wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan khusus di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan telah terwujud dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang tentang Yayasan, keberadaan yayasan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah popular, yaitu sebagai lembaga yang bertujuan sosial atau lembaga amal. Penyebutan kata “yayasan” dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek-BW) dan beberapa aturan lainnya. Di dalam BW misalnya, beberapa pasal menggunakan kata “yayasan.” Istilah yayasan di dalam BW kerap dipersamakan dengan lembaga amal. Di pasal-pasal yang tersebar di dalam BW, yayasan atau lembaga amal ini biasanya selalu dikaitkan dengan perwalian yang berhubungan dengan kecakapan untuk mengambil keuntungan dari suatu surat wasiat.

Pasal-pasal yang terdapat di dalam BW dan aturan hukum lainnya hanya mencantumkan penyebutan kata “yayasan”, tidak ada sama sekali aturan tersebut menyebutkan pengertian dan atau pengaturan lebih jauh tentang lembaga amal atau yayasan ini, baik syarat maupun tata cara pendirian sebuah yayasan. Keberadaan dan pendirian yayasan sebagai sebuah lembaga amal pada saat itu hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada Undang-Undang yang mengaturnya.

Pemilihan yayasan sebagai wadah untuk melakukan dan menjalankan kegiatan pada masa lalu, telah diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai lembaga yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang pada umumnya tidak ditangani oleh badan-badan lainnya. Pemilihan yayasan juga didorong oleh mudahnya proses pendirian sebuah yayasan. Akan tetapi, perkembangan yayasan di masyarakat pada saat itu, tanpa ada aturan yang jelas, akibatnya, banyak yayasan yang disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan semula dimana yayasan sebagai lembaga nirlaba dan bertujuan sosial kemanusiaan, adakalanya juga digunakan dengan tujuan untuk memperkaya diri para pendiri dan pengurusnya. Selain itu, muncul pula berbagai macam permasalahan, baik yang berhubungan dengan maksud dan tujuan yayasan yang tidak sesuai sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, ada juga sengketa antar organ yayasan, baik pendiri dengan pengurus atau dengan pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum.

Belum lagi mengenai statusnya, sebagai sebuah badan hukum, keberadaan yayasan juga masih sering dipertanyakan oleh banyak pihak, karena keududukan yayasan sebagai subyek hukum belum mempunyai kekuatan hukum yang tegas dan kuat. Apalagi mengenai tata cara yang harus dipenuhi oleh pengelola yayasan untuk memperoleh status badan hukum, masih juga belum ada pengaturannya. Barulah, setelah Putusan Nomor 124 K/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973, mulai ada pencerahan mengenai status badan hukum yayasan. Mahkamah Agung melalui putusannya berpendapat bahwa yayasan dapat disebut sebagai badan hukum sepanjang memenuhi unsur-unsur: 1) mempunyai harta kekayaan sendiri; 2) mempunyai tujuan sendiri (tertentu); dan 3) mempunyai alat perlengkapan.

Putusan Nomor 124 K/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973 ini, hanya menjawab persoalan status badan hukum yayasan sepanjang yang disebutkan di atas, tapi belum menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, sejak itulah, status penentuan badan hukum yayasan maupun penjaminan akan kepastian dan ketertiban hukum, serta penegasan tentang fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan mulai dapat dirasakan oleh masyarakat.

Secara tegas, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menjelaskan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Berdasarkan pengertian tersebut, pendirian sebuah yayasan ditujukan untuk memfasilitasi sejumlah orang dalam berorganisasi yang tujuan kegiatannya melingkupi aktifitas sosial, keagamaan, dan kemanusiaan bukan untuk tujuan komersial atau mencari keuntungan sebanyak-banyaknya (nirlaba).

Jadi, karakter badan hukum yayasan yang bertujuan sosial dan nirlaba sangatlah jelas berbeda dengan badan hukum perusahaan atau badan usaha lainnya yang menjalankan kegiatannya adalah untuk tujuan mencari keuntungan sebanyak-sabanyaknya, seperti Perseroan Terbatas dan lain-lain.

BADAN HUKUM YAYASAN

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Yayasan, keberadaan status yayasan sebagai badan hukum sudah sangat terang benderang, di mana dalam Undang-Undang secara langsung disebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum. Pasal 1 Undang-Undang Yayasan: “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.

Bagian ini akan membahas mengenai badan hukum yayasan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Yayasan. Sebelum melangkah lebih jauh untuk memahami apa yang dimaksud dengan badan hukum yayasan, kiranya perlu dibicarakan terlebih dahulu mengenai subyek hukum, karena badan hukum merupakan salah satu macam dari subyek hukum. Ali Rido dalam bukunya, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan & Wakaf sebagaimana dikutip dalam Kompedium Hukum Yayasan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tahun 2012, menyebutkan, subyek hukum adalah sesuatu yang dapat dibebani hak dan kewajiban. Dalam pergaulan hukum, manusia (natuurlijk persoon) ternyata bukan satu-satunya yang dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi yang dibebankan hak-hak dan kewajiban yaitu badan hukum (rechtpersoon). Jadi subyek hukum terdiri atas manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon).

Sama halnya dengan manusia, badan hukum sebagai subyek hukum memiliki kekayaan tersendiri yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya serta mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum antara lain melakukan perjanjian, membayar pajak, dan lain sebagainya.

Kembali kepada persoalan badan hukum, untuk memahami istilah badan hukum, beberapa ahli telah memberikan pengertian mengenai badan hukum. Prof. Subekti, dalam bukunya, Pokok-Pokok Hukum Perdata, menjelaskan badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia, serta memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim. Senada dengan Prof. Subekti, Wirjono Projodikoro, berpendapat, badan hukum adalah badan disamping manusia perseorangan yang juga dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

Dari pengertian yang disampaikan para ahli, ternyata, tidak seluruh badan atau lembaga dapat dikatakan sebagai suatu badan hukum. Ada persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu badan dapat disebut sebagai badan hukum. Menurut doktrin, syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dianggap sebagai badan hukum, pertama syarat materil, yaitu 1) adanya pemisahan harta kekayaan antara badan dan pendiri atau anggota dan pemegang saham; 2) adanya tujuan tertentu; 3) memiliki tanggung jawab yang terbatas; 4) memiliki kecakapan kontraktual atas namanya sendiri; 5) dapat digugat dan menggugat di hadapan pengadilan atas nama dirinya sendiri; 6) ada organ yang mengelola dan mewakili badan tersebut. Kedua, syarat formil: 1) didirikan dengan akta otentik dan 2) mendapatkan pengesahan Menteri.

Apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, maka suatu badan barulah dapat dikatakan sebagai suatu badan hukum dan diakui eksistensinya oleh negara sebagai wadah yang berbadan hukum. Berdasarkan sifatnya, badan hukum itu sendiri dibagi menjadi dua. Pertama badan hukum publik, yaitu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak dan bergerak di bidang publik atau yang menyangkut kepentingan negara atau umum, badan hukum ini merupakan badan hukum yang dibentuk oleh negara berdasarkan perundang-undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi untuk itu. Kedua, badan hukum privat, yaitu badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata atau hukum sipil yang bergerak dibidang privat atau menyangkut kepentingan orang atau individu-individu tertentu. Badan hukum ini merupakan badan hukum swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu seperti mencari laba, sosial-kemasyarakatan, politik, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejalan dengan pengertian dan persyaratan badan hukum di atas, yayasan dapat dianggap sebagai badan hukum apabila telah memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Secara tegas Undang-Undang Yayasan mensyaratkan untuk dapat dikategorikan sebagai badan hukum, yayasan haruslah didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal, didirikan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, serta dilakukan melalui akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dan mendapatkan pengesahan dari Menteri.

Yayasan yang belum atau tidak memenuhi persyaratan dan kententuan serta alur sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Yayasan, mulai dari pemisahan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal, didirikan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, serta dilakukan melalui akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia dan yang terpenting adalah mendapatkan pengesahan dari Menteri, maka badan tersebut tidak boleh menggunakan nama yayasan di depannya dan belum merupakan wadah yang berbadan hukum. Konsekwensi perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pengurus pribadi secara tanggung renteng.

Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa yayasan menjadi badan hukum karena Undang-Undang tentunya setelah mendapatkan pengesahan dari Menteri, bukan berdasarkan sistem terbuka yaitu berdasarkan kebiasaan, doktrin dan yurisprudensi. Dengan adanya prosedur dalam rangka memperoleh status badan hukum yang dijabarkan secara rinci dalam Undang-Undang Yayasan, memberikan kepastian dan memperjelas bahwa yayasan adalah badan hukum dan tidak lagi ada keraguan atas status yayasan sebagai badan hukum. Selanjutnya, karena sifatnya yang individu dan kepentingan orang perorang, yayasan dimasukan dalam kategori badan hukum privat.

PENDIRIAN YAYASAN

Sebagaimana telah dijabarkan di atas, sebelum adanya Undang-Undang Yayasan, belum ada keseragaman aturan dan tata cara pendirian suatu yayasan. Pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Yayasan yang ada hanya didirkan melalui akta notaris dan tidak ada kewajiban yayasan untuk mengumumkan ke Kementerian yang ditugasi untuk itu, serta tidak juga ada kewajiban melakukan pengesahan pendirian yayasan itu ke Pengadilan.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Yayasan, maka tata cara mendirikan yayasan wajib mengikuti aturan main yang telah ditetapkan tersebut.

Undang-Undang menyebutkan, pendirian yayasan dapat dilakukan oleh satu orang atau lebih, baik oleh Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) atau WNI bersama-sama dengan WNA dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan. Pendiriannya harus dilakukan dengan akta notaril antara pendirinya atau dapat dikuasakan berhadapan dengan notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia. Pendirian melalui surat wasiat dilaksanakan oleh pelaksana wasiat sebagaimana diperintahkan dalam surat wasiat juga dilakukan berhadapan dengan notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Setiap orang yang akan mendirikan yayasan (Pendiri), diwajibkan untuk menyiapkan nama yayasan. Pemilihan nama yayasan harus berbeda dengan nama yayasan yang telah ada di dalam daftar nama yayasan yang tercatat dalam list daftar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Selain menyiapkan nama yayasan, pendiri juga menyiapkan nama-nama yang akan ditempatkan di dalam organ yayasan yang terdiri dari Pembina, Pengurus (Ketua, Sekretaris, dan Bendahara), dan Pengawas disertai dengan menyampaikan salinan Kartu Tanda Penduduk dan Nomor Pokok Wajib Pajak setiap orang perorang yang akan duduk sebagai organ yayasan. Disamping itu, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (“PP No.63 Tahun 2008”) mensyaratkan pendiri untuk memisahkan harta kekayaannya untuk dijadikan modal awal yayasan. Jumlah modal awal yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan minimal Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama dengan orang Indonesia, yang dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri disertai dengan menjelaskan maksud dan tujuan yayasan dan mempersiapkan alamat domisili yang akan dicantumkan dalam akta yayasan untuk digunakan dalam setiap dokumen legalitas yayasan.

PENGESAHAN

Sebagaimana diketahui, yayasan merupakan badan hukum yang melakukan aktifitasnya untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Untuk memperoleh status badan hukum sebuah yayasan sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bagian “Badan Hukum” di atas, Pendiri yayasan atau kuasanya diharuskan mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan yang telah dibuat oleh notaris kepada Menteri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam PP No.83 Tahun 2008.

Permohonan itu setidaknya melampiri salinan akta pendirian yayasan, fotokopi nomor pokok wajib pajak yang telah dilegalisir oleh notaris dan surat pernyataan tempat kedudukan (domisili) disertai alamat lengkap yayasan yang ditandatangani oleh pengurus yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat.

Selain itu, dalam rangka pendirian yayasan, Pendiri yayasan diwajibkan menyisihkan harta kekayaannya untuk modal awal yayasan sebesar minimal sepuluh juta rupiah untuk yayasan yang didirikan oleh WNI atau sebesar minimal seratus juta rupiah untuk yayasan yang didirikan oleh orang atau badan asing. Untuk itu, guna mendapatkan pengesahan badan hukum oleh Menteri, pendiri melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan, melampirkan bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan yayasan. Disamping itu, pendiri juga diwajibkan melampirkan surat pernyataan dari pendiri mengenai keabsahan kekayaan atau modal awal yayasan dimana harta kekayaan tersebut diperoleh tidak dengan cara melawan hukum, seperti hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang.

Setelah proses ini dilalui dan mendapatkan pengesahan dari Menteri, barulah secara aturan sebagaimana UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, dapat dikatakan yayasan tersebut merupakan badan hukum. Konsekwensi dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan sebelum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pengurus secara tanggung renteng.

Yayasan yang sudah didirikan dan telah mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Pengumuman tersebut dilakukan oleh menteri dalam jangka waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak akta pendirian yayasan disahkan.

ORGAN YAYASAN

Yayasan sebagai subyek hukum yang berwujud badan hukum, bukanlah manusia alamiah (natuurlijk persoon), oleh karena itu, yayasan tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum, badan yayasan tidak dapat menjalankan sendiri segala kegiatan yang harus dilakukan oleh badan tersebut. Dalam melakukan perbuatan hukum, yayasan memerlukan perantara manusia selaku wakilnya. Ketika yayasan melakukan perbuatan hukum, aktifitas yang dilakukan haruslah melalui perantara orang-perorang, namun orang tersebut tidak bertindak untuk dan atas nama dirinya, melainkan untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan tersebut inilah yang disebut organ yayasan.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menerangkan, yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Lebih jauh di Pasal 28, Pasal 31, dan Pasal 40 menjelaskan definisi masing-masing organ, Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-Undang atau Anggaran Dasar Yayasan. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan. Sedangkan pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Untuk memperjelas kualifikasi, kewenangan dan tugas masing-masing organ yayasan akan dijabarkan satu persatu.

Pertama Pembina, Undang-Undang telah memberikan rambu-rambu seseorang dapat diangkat sebagai Pembina, Pasal 28 Undang-Undang Yayasan secara tegas menyebutkan tiga kriteria yang dapat diangkat sebagai Pembina. 1) Bahwa yang dapat diangkat sebagai Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri yayasan; 2) Mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan; 3) Pembina bukan pengurus dan pengawas.

Pendiri yayasan dianggap cocok sebagai pembina karena pendiri-lah yang mengetahui maksud dan tujuan pendirian sebuah yayasan. Untuk mencapai cita-cita yang luhur sebagai lembaga amal, sebuah yayasan dibutuhkan orang yang memiliki dedikasi yang tinggi. Pembina bukanlah pengurus dan pengawas, artinya, pembina tidak boleh merangkap sebagai pengurus dan pengawas. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dan menghindarkan adanya konflik kepentingan antar organ. Dengan cara ini organisasi yayasan akan berjalan dengan baik, karena memunculkan sistem check and balance.

Selain itu, keberadaan Pembina sangat penting, karena akan mempengaruhi kinerja yayasan. Hal ini terkait dengan wewenang yang diembannya yang sangat besar dan menentukan keberlangsungan yayasan sebagai sebuah lembaga. Kewenangan besar yang dimiliki Pembina adalah 1) keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar; 2) pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas; 3) penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan; 4) pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan; dan 5) penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan. Dengan kewenangannya yang besar ini, sangat tepat sekali seseorang yang diangkat sebagai Pembina haruslah orang yang mempunyai dedikasi yang tinggi.

Selain kewenangan yang diemban, Pembina juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Diantara kewajiban Pembina adalah mengadakan rapat tahunan minimal satu kali dalam setahun serta melakukan evaluasi terkait dengan kekayaan yayasan dan penilaian atas hak dan kewajiban yayasan tahun yang lampau sebagai dasar pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan yayasan untuk tahun yang akan datang.

Kedua Pengurus. Dalam yayasan, struktur kepengurusan yayasan tidak berbeda dengan struktur organisasi pada umumnya. Struktur tersebut terdiri dari, ketua, sekretaris dan bendahara. Jumlah personil masing-masing sturktur pengurus minimal diisi oleh satu orang untuk tiap jabatan. Adapun kualifikasi yang ditetapkan Undang-Undang untuk jabatan pengurus yayasan adalah: 1) mampu mengurus yayasan; 2) cakap melakukan perbuatan hukum; dan 3) bukan anggota Pembina dan Pengawas.

Pengurus diangkat oleh Pembina untuk masa kepengurusan lima tahun dan dapat diangkat kembali setelah masa jabatan pertama berakhir untuk masa jabatan yang sama sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar. Pengangkatan pengurus dilakukan berdasarkan keputusan rapat Pembina.

Tugas pokok Pengurus yayasan diatur dalam Undang-Undang Yayasan, yaitu bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan yang dijalankan dengan itikad baik. Dalam menjalankan tugasnya mengurus yayasan, pengurus juga dapat mengangkat pelaksana kegiatan.

Selain tugas pokok sebagaimana disebutkan di atas, pengurus juga mempunyai hak dan kewajiban, serta dibebankan kewenangan yang melekat pada dirinya. Pengurus berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk itu berdasarkan kewenangannya pengurus bertindak untuk dan atas nama yayasan sebagai organ yayasan yang melaksanakan tugas kepengurusan yayasan. Kewenangan ini dibatasi apabila terdapat suatu perkara dimana perkara tersebut menyangkut pribadi pengurus yayasan yang bersangkutan atau anggota pengurus tersebut mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan yayasan. Pembatasan kewenangan lainnya sebagaimana disebutkan Undang-Undang Yayasan yaitu pengurus dilarang mengikat yayasan sebagai penjamin hutang, mengalihkan kekayaan yayasan tanpa persetujuan pembina, dan membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain. Larangan lainnya pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, pembina, pengurus, dan/atau pengawas, atau seseorang yang bekerja pada yayasan sepanjang tidak memberikan manfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan yayasan.

Setelah mengetahui hak dan kewenangan serta pembatasan kewenangan ataupun larangan yang melekat pada pengurus. Terdapat beberapa kewajiban pengurus yang wajib diemban oleh, yaitu Pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis maksimal lima bulan sejak tahun buku yayasan ditutup. Pengurus juga bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentaun anggaran dasar yang menyebabkan kerugian yayasan ataupun pihak ketiga.

Di depan sudah dijelaskan masa bakti kepengurusan pengurus yayasan yaitu lima tahun kepengurusan, akan tetapi masa bakti lima tahun tidaklah mutlak. Karena, Pengurus sewaktu-waktu dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan keputusan rapat Pembina, dengan alasan selama dalam melaksanakan tugas kepengurusan, pengurus tersebut melakukan tindakan yang dinilai oleh Pembina merugikan yayasan. Oleh karenanya, keanggotaan Pengurus dapat dilakukan penggantian dalam masa jabatannya sedang berlangsung, sekali lagi kalau Pengurus dalam melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar dan merugikan yayasan. Dalam rangka penggantian pengurus, maka pengurus yang menggantikannya wajib melakukan pemberitahuan perihal pergantian itu kepada menteri maksimal tiga puluh hari sejak penggantian pengurus yayasan dilakukan.

Apabila pengangkatan, penggantian dan pemberhentian pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, penggantian dan pemberhentian pengurus tersebut dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak permohonan pembatalan diajukan tentunya disertai dengan bukti-bukti dan alasan-alasan yang mendukung untuk itu.

Organ ketiga dari kepengurusan yayasan adalah Pengawas. Terdapat kualifikasi khusus untuk dapat diangkat sebagai pengawas. Undang-Undang Yayasan menyebutkan, yang dapat diangkat sebagai pengawas adalah 1) orang perseorangan yang yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan menasihati orang lain. Kemampuan ini sangat terkait dengan tugasnya untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan; 2) kesanggupan untuk melakukan perbuatan hukum; 3) bukan merupakan anggota pengurus dan juga bukan pembina yayasan dengan tujuan untuk keseimbangan dan tidak terjadi tumpah tindih pekerjaan, atau bahkan konflik kepentingan.

Sebagaimana halnya pengurus, pengawas juga diangkat berdasarkan keputusan rapat pembina. Tugas dan tanggung jawab Pengawas adalah mengemban tugas controlling dan memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan tugasnya selama lima tahun. Pengawas diberikan kewenangan untuk memberhentikan sementara anggota pengurus, apabila pengawas melihat pengurus yang bersangkutan melakukan tindakan keluar dari anggaran dasar yayasan dan dinilai akan mengakibatkan kerugian pada yayasan. Pemberhentian sementara tersebut, wajib dilaporkan secara tertulis kepada pembina dalam waktu tujuh hari.

HARTA KEKAYAAN YAYASAN

Sebagai badan hukum, layaknya subyek hukum manusia (nutuurlijk persoon), yayasan memiliki kekayaan tersendiri. Demikian yang termaktub dalam Undang-Undang Yayasan, dimana “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan…” dan seterusnya sebagaimana Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Yayasan. Pasal 9 ayat (1) di Undang-Undang yang sama, menekankan bahwa yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.

Secara lebih rinci mengenai kekayaan awal, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan mengatur batas minimal jumlah kekayaan awal yayasan paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) untuk yayasan yang didirikan oleh WNI dan Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk yayasan yang didirikan oleh WNA atau WNA bersama WNI.

Kekayaan yayasan yang diberikan oleh pendiri sebagai modal awal operasional yayasan, tidaklah bersifat komersil, artinya pendiri yayasan memisahkan hartanya tersebut, bukan untuk mendapatkan keuntungan dari penyertaan modal yang diberikan sebagaimana layaknya pembelian saham oleh pemegang saham di perusahaan yang mengharapkan deviden atas penyertaan modal tersebut. Karena pemisahan kekayaan itu, semata-mata ditujukan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Tujuan utama pendiri memisahkan harta kekayaannya adalah semata-mata untuk operasional yayasan yang tujuannya adalah dalam rangka membantu dan/atau meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat bukan untuk memperkaya diri pribadi pendiri.

Hal ini sejalan dengan tujuan diciptakan Undang-Undang Yayasan, dimana sebuah yayasan didirikan untuk tidak disalahgunakan dan tidak menyimpang dari tujuan semula, yaitu sebagai lembaga nirlaba dan bertujuan sosial kemanusiaan serta tidak digunakan untuk tujuan memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawasnya.

Undang-Undang Yayasan juga menegaskan Pendiri dan/atau Organ Yayasan yang telah memisahkan harta kekayaannya sebagai modal awal yayasan, sudah tidak lagi mempunyai kuasa atas harta tersebut untuk dirinya sendiri sebagai person, karena kekayaan yang diperoleh yayasan sepenuhnya menjadi hak milik yayasan sebagai badan hukum. Termasuk, perolehan yayasan lainnya yang didapat oleh yayasan baik berupa sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, ataupun perolehan lainnya, tidak boleh dialihkan atau diberikan bahkan dimiliki secara pribadi oleh Organ Yayasan.

Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Yayasan “kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

Apabila larangan ini dilanggar, maka yang bersangkutan, baik pendiri maupun organ yayasan yang menggunakan harta yayasan untuk memperkaya diri pribadi akan dikenanak sanki pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun. Akan tetapi, terdapat pengecualian terhadap pengurus, dimana pengurus dapat menerima gaji, upah, honorarium selama ditentukan dalam anggaran dasar, sepanjang pengurus itu bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi (memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertical) dengan organ yayasan dan melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh (sesuai dengan ketentuan hari dan jam kerja yayasan bukan pekerja paruh waktu).

Berdasarkan pengertian di atas, maka prinsip dasar yayasan adalah pengelolaan lembaga oleh Organ yayasan, bukan kepemilikan, baik pendiri maupun organ yayasan, karena kekayaan yayasan bukan lagi milik pendiri ataupun organ yayasan, tetapi kekayaan yayasan itu adalah milik lembaga yayasan sebagai badan hukum.

Demikian pula ketika yayasan tersebut bubar, harta kekayaan yayasan yang telah diperoleh selama yayasan berdiri, tidak lagi kembali kepada pendiri maupun ahli warisnya atau organ yayasan, melainkan beralih kepada yayasan lain yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang bubar tersebut atau diserahkan kepada negara.

KEGIATAN USAHA YAYASAN

Sebagaimana diketahui, yayasan merupakan lembaga nir-laba – non-profit, yang didirikan oleh sekumpulan orang, dimana seluruh aktifitasnya diperuntukan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Oleh karenanya, Undang-Undang secara ketat mengawasi agar tujuan mulia sebuah yayasan tidak disalahgunakan oleh Organ Yayasan dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi pribadi Organ itu, sebagaimana layaknya sebuah badan usaha seperti perseroan.

Tak dapat dipungkiri, walaupun sebagai lembaga non-profit yang aktifitasnya lebih cenderung kepada kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yayasan dalam pengelolaannya juga membutuhkan dana guna menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Oleh karenanya, selain memperoleh kekayaan dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, Undang-Undang juga memperkenankan yayasan untuk melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan badan usaha (to established) dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha (to participate) dengan tujuan agar kegiatan usaha tersebut nantinya akan menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar.

Berdasarkan petunjuk Undang-Undang di atas, perolehan kekayaan yayasan selain sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, yayasan dapat juga memperoleh kekayaan melalui kegiatan usaha. Cara memperoleh kekayaan melalui kegiatan usaha yang dibolehkan Undang-Undang ada dua model. Pertama, Pendirian badan usaha oleh yayasan. Cara ini mempertegas bahwa yayasan tidak boleh digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, akan tetapi harus melalui suatu badan usaha yang didirikannya. Untuk model ini, Undang-Undang membatasi jenis kegiatan usaha yang boleh didirikan oleh yayasan, yaitu harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dalam praktek banyak dijumpai misalnya yayasan mendirikan sekolah dan rumah sakit.

Kedua, model penyertaan. Dalam cara ini, Undang-Undang tidak membatasi jenis kegiatan usaha dari badan usaha dimana modal yayasan disertakan, yang penting tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundang-undangan. Artinya, modal tersebut boleh disertakan ke dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif. Akan tetapi, untuk model ini, Undang-Undang membatasi besaran penyertaan modal untuk diinvestasikan, yaitu sebesar maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Penentuan batas maksimal penyertaan dimaksudkan agar tidak mengganggu kegiatan utama yayasan dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan itu sendiri.

 

Referensi:

Undang-Undang:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;

PP NO 63 TAHUN 2008 tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 20101 tentang Yayasan

 

Putusan Pengadilan:

Mahkamah Agung, Putusan Nomor 124 K/Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973

 

Buku:

Subekti dan Mulyoto, Yayasan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Yayasan dan PP Nomor 63 Tahun 2008, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2011

Ali Rido dalam bukunya, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan & Wakaf, Alumni, Bandung, 1983, hal. 118, sebagaimana dikutip dalam Kompedium Hukum Yayasan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tahun 2012

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, 1987

Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, 1966

Ahmad Probo Sulistiyo, Problematika Hukum Terhadap Kedudukan Yayasan yang Didirikan Sebelum Undang-Undang Yayasan, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017

Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

L&J A Law Firm, Tanya Jawab Hukum Yayasan: Pedoman bagi Pembina, Pengawas, dan Pengurus, Nera Pustaka, Jakarta, 2013

Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, PT. Abadi, Jakarta, 2003

 

Blog:

Yahya Zein, Status Hukum Yayasan, http://yahyazein.blogspot.com/2008/11/status-hukum-yayasan.html, diakses pada 8 Agustus 2018

Rifatul Hidayat, Yayasan Suatu Badan Hukum, http://rifatulhidayat-noor.blogspot.com/2013/01/yayasan-suatu-badan-hukum.html, diakses pada tanggal 8 Agustus 2018.

 

 

 

 

sumber artikel

Share this post:  

0 komentar: